Ghozi Almujaddidi
∙04 September 2025
Coba kita bayangin ini. Jam 8 pagi di Jakarta, deru klakson dan wajah-wajah lelah di kereta commuter line. Sekarang, kita pindah ke scene berbeda - jam 8 pagi di Ubud Bali. Ada seorang web developer sedang mengetik code sambil menyeruput kopi lokal di coworking space dengan view sawah. Kedua gambar ini sama-sama realitas kerja di Indonesia, tapi dengan kualitas hidup yang beda banget. Inilah fenomena urban sprawl terbalik yang sedang terjadi. Data Kemenaker (2023) menunjukkan 27% pekerja digital di Indonesia sekarang memilih tinggal di kota kecil atau menengah. Mereka adalah bagian dari generasi yang sadar remote work bukan cuma mimpi, tapi pilihan hidup yang bikin kantong dan mental health lebih sehat.
Almarhum Bob Sadino pernah bilang, "Yang penting bukan di mana kamu berada, tapi apa yang kamu kerjakan." Kalimat ini sekarang jadi pegangan banyak digital nomad muda. Dengan skill digital yang tepat, lo bisa kerja untuk perusahaan unicorn Jakarta dari rumah makan padang di Bukittinggi.
Ada tiga alasan utama urban sprawing terbalik ini terjadi: Pertama, biaya hidup. Gaji Rp15 juta di Jakarta mungkin cuma cukup untuk kos kamar 3x3 dan bayar tol. Tapi di Jogja atau Malang, angka segitu bisa dapet rumah kecil plus nabung. Data Numbeo (2023) menunjukkan biaya hidup di kota kecil 40-60% lebih murah dibanding Jakarta.
Kedua, kualitas hidup. Bayangin bisa kerja sambil lihat gunung dari jendela, atau meeting Zoom dengan background pantai.
Ketiga, infrastruktur digital yang makin merata. Internet cepat sekarang bukan monopoli ibu kota. Bahkan di Labuan Bajo atau Belitung, coworking space kekinian sudah bermunculan. Purwadhika Digital School bahkan melaporkan 15% siswanya sekarang belajar secara remote dari kota-kota kecil.
Tapi jangan salah, kerja remote itu bukan liburan berpura-pura kerja. Dunia digital punya standar kompetensi sendiri. Berdasarkan laporan JobStreet (2023), lima skill digital paling dicari untuk pekerjaan remote adalah:
Digital Marketing (khususnya SEO dan performance ads), digital marketing saat ini sangat banyak dibutuhkan. Perkembangan cara memasarkan dan membangun sebuah brand awareness saat sudah berubah ke era digitalisasi dan peran seorang digital marketing sangat penting untuk dapat menyampaikan value dari sebuah brand kepada audience melalui berbagai platform digital
Software Development (web dan mobile app). Dengan berkembangnya platform digital saat ini, peran software development juga diperlukan untuk membantu mengembangkan performa dan stabilitas sebuah aplikasi agar berfungsi dengan baik.
Data Analysis (Python, SQL, data visualization). Perkembangan digital tersebut diiringi dengan kemunculan data dengan jumlah yang sangat besar. Jika dikerjakan secara manual akan sangat menyulitkan. Oleh karena itu, peran data analysis cukup penting untuk mengolah data yang sangat banyak tersebut sehingga lebih mudah dibaca untuk pengambilan keputusan akhir.
UI/UX Design (product design dan user research). Selain software development, UI/UX juga memiliki peran yang sangat penting untuk dapat menciptakan lingkungan visual yang menarik dan nyaman bagi audience target dari brand tersebut. Content Creation (video editing, copywriting, social media)
Yang menarik, banyak perusahaan sekarang lebih peduli pada portfolio daripada ijazah. Kisah Alief, lulusan bootcamp Purwadhika yang sekarang kerja sebagai graphic & UI/UX designer diluar negeri yang bekerja secara remote menjadi bukti nyata.
Mari berkenalan dengan Agnes Friska Cyntia, influencer Indonesia sebagai digital nomad yang sukses. ia mengaku berhasil menjalankan bisnisnya kapanpun dan dimanapun selama masih dapat terkoneksi dengan internet.
Atau Cerita Katie Macleod, digital nomad yang telah bekerja dari 78 negara. Katie Macleod, seorang perempuan berusia 28 tahun yang bekerja sebagai desainer grafis lepas asal Skotlandia. Katie telah bekerja dari rumah atau WFH di 78 negara berbeda. Ia telah mendokumentasikan perjalanannya di blog sejak awal 2018.
Tentu saja hidup sebagai digital nomad bukan tanpa tantangan. Masalah utama yang sering dihadapi adalah:
Buat lo yang tertarik ikut tren ini, begini cara memulainya:
Pertama, asah skill digital yang relevan. Bootcamp intensif seperti yang ditawarkan Purwadhika bisa jadi pilihan tepat karena fokus pada skill praktis yang langsung bisa dipakai kerja.
Kedua, bangun portfolio nyata. Bikin proyek dummy atau tawarkan jasa ke usaha lokal dulu. Portfolio kuat lebih berbicara daripada CV panjang. Ketiga, cari komunitas. Bergabung dengan grup digital nomad Indonesia bisa memberi dukungan dan info lowongan.
Terakhir, siapkan mental. Kerja remote butuh kedisiplinan ekstra. Tapi begitu terbiasa, kebebasannya tidak tergantikan.
Laporan McKinsey (2023) memprediksi bahwa 30-40% pekerjaan di Indonesia akan bisa dilakukan secara remote dalam 5 tahun ke depan. Artinya, urban sprawl terbalik ini baru awal.
Kota-kota kecil dengan biaya hidup terjangkau dan kualitas hidup baik akan semakin diminati. Bahkan beberapa daerah seperti Banyuwangi dan Jogja sudah mulai menyiapkan infrastruktur khusus untuk menyambut digital nomad.
Sementara itu, kota besar mungkin akan berubah fungsi menjadi hub pertemuan occasional saja. "Saya cuma ke Jakarta 2-3 kali setahun untuk meeting penting, sisanya dari mana saja," kata Andi, digital marketer yang tinggal di Flores.
Pilihan antara terjebak macet di Jakarta atau kerja sambil menikmati sunset di pantai kecil kini ada di tangan generasi muda. Dengan skill digital yang tepat, lo bisa menentukan sendiri di mana dan bagaimana ingin hidup.
Seperti kata Najwa Shihab, "Yang penting bukan di mana kita berdiri, tapi ke mana kita melangkah." Di era digital ini, langkah itu bisa dimulai dari mana saja - bahkan dari kedai kopi kecil di kota kelahiran lo.
bagikan
ARTIKEL TERKAIT