Natalia Elizabeth
∙21 January 2025
Di tengah arus digitalisasi yang semakin pesat, istilah brain rot atau pembusukan otak mulai menjadi perhatian serius, bahkan Oxford University menobatkan brain rot sebagai "Word of the Year 2024", dengan frekuensi penggunaan istilah tersebut melonjak 230% dari tahun 2023 ke tahun 2024, mencerminkan relevansi topik ini dalam kehidupan manusia modern.
Istilah brain rot digunakan untuk menggambarkan kondisi penurunan fungsi otak, terutama dalam hal konsentrasi, kreativitas, dan kemampuan berpikir kritis akibat pola konsumsi digital yang tidak sehat. Istilah ini populer di era digital, di mana kita sering terpapar informasi instan dalam jumlah besar dan secara terus menerus melalui media sosial dan hiburan online lainnya tanpa memberikan otak waktu untuk mencerna informasi dan beristirahat.
Ditambah perangkat elektronik dan platform online sudah menjadi kebutuhan primer dari kehidupan sehari-hari dan algoritma media sosial yang dirancang untuk mempertahankan perhatian pengguna melalui konten yang bersifat adiktif dan sering kali “receh”.
Menurut data survei GWI.com, rata-rata masyarakat Indonesia menghabiskan waktu 7 jam 38 menit setiap harinya untuk mengakses internet dan 58,9% di antaranya menggunakan internet untuk mengisi waktu luang.
Pola ini menunjukkan bagaimana mengakses informasi dan hiburan digital menjadi aktivitas dominan dalam kehidupan sehari-hari.
Orang yang mengalami brain rot biasanya menunjukkan beberapa ciri atau gejala yang mencerminkan penurunan kemampuan kognitif, emosional, dan produktivitas. Terdapat penurunan konsentrasi dan fokus yang ditandai dengan kesulitan mempertahankan perhatian dalam jangka waktu lama, mudah terdistraksi, terutama oleh notifikasi atau godaan membuka media sosial serta kesulitan menyelesaikan tugas yang membutuhkan konsentrasi penuh.
Ketergantungan pada media digital juga menjadi ciri utama di mana seseorang merasa tidak nyaman atau cemas ketika tidak menggunakan perangkat digital, menghabiskan waktu berjam-jam untuk scrolling media sosial tanpa tujuan jelas dan merasa “kosong” atau bosan tanpa stimulasi digital. Selain itu, gangguan pola pikir juga kerap muncul.
Hal ini ditandai dengan kesulitan berpikir mendalam atau melakukan analisis yang kompleks, pola pikir yang menjadi dangkal akibat terbiasa dengan informasi singkat dan cepat, serta kehilangan kreativitas karena kurangnya eksplorasi ide baru di luar dunia digital.
Penurunan kesehatan mental juga sering terjadi, seperti merasa mudah lelah meskipun tidak melakukan pekerjaan berat, meningkatnya rasa cemas, stres atau depresi akibat membandingkan diri dengan orang lain di media sosial. Perasaan tidak puas atau kurang percaya diri setelah melihat kehidupan orang lain di media sosial membuat seseorang harus tampil sempurna.
Brain rot juga mempengaruhi hubungan sosial, interaksi tatap muka yang sering kali tergantikan oleh komunikasi digital dapat mengarah pada isolasi sosial sehingga mengurangi empati dan koneksi emosional. Sulit tidur karena kebiasaan menggunakan perangkat digital sebelum tidur (akibat paparan cahaya biru) dan tidur yang tidak nyenyak atau sering terbangun di malam hari adalah gejala yang sering dialami.
Penurunan produktivitas juga menjadi salah satu tanda brain rot, seperti prokrastinasi atau menunda-nunda pekerjaan karena tergoda untuk mengecek media sosial, serta kesulitan menyelesaikan tugas atau tanggung jawab tepat waktu.
Mengatasi brain rot membutuhkan perubahan kebiasaan dan pendekatan yang lebih sehat terhadap konsumsi media digital. Langkah pertama adalah membatasi waktu penggunaan perangkat dengan menentukan jadwal khusus, menggunakan fitur pemantau waktu layar, atau melakukan detoks digital secara berkala. Penting juga untuk fokus pada konten berkualitas dengan memilih sumber informasi yang edukatif dan menghindari doom-scrolling.
Menjaga kesehatan mental dan fisik melalui meditasi, olahraga, dan tidur yang cukup sangat membantu meningkatkan konsentrasi dan suasana hati. Di samping itu, membangun kebiasaan membaca dan berdiskusi dapat melatih otak untuk berpikir mendalam. Hindari multi-tasking berlebihan dengan fokus pada satu tugas menggunakan teknik seperti Pomodoro, dan atur lingkungan digital dengan mematikan notifikasi yang tidak penting serta menghapus aplikasi yang tidak diperlukan.
Detoksifikasi media sosial seperti jeda dari platform digital dan memilih aktivitas yang lebih kreatif juga bermanfaat. Interaksi sosial yang bermakna, baik secara langsung maupun melalui komunitas offline, membantu menjaga keseimbangan emosional. Latihan fokus seperti meditasi dan permainan otak dapat mempertajam kemampuan kognitif.
Jika gejala brain rot terjadi terus-menerus dan semakin parah, penting untuk mengevaluasi kebiasaan digital, mempertimbangkan untuk mengelola konsumsi digital dan berkonsultasi dengan profesional kesehatan adalah langkah yang tepat. Fenomena ini menunjukkan perlunya pengelolaan konsumsi digital yang lebih bijak. Dengan konsistensi dalam menerapkan langkah-langkah tersebut, keseimbangan dalam penggunaan teknologi dapat tercapai, kualitas hidup meningkat, kesehatan mental dan kemampuan otak pun tetap terjaga.
bagikan
ARTIKEL TERKAIT
Hi!👋
Kamu bisa menghubungi kami via WhatsApp