Chevyco Hendratantular
∙11 September 2025
Awalnya saya pun mengira digital marketing hanya relevan untuk jualan atau bisnis online. Tapi setelah menelusuri lebih jauh, saya melihat potensinya di sektor budaya dan pelestarian sejarah. Museum yang berani masuk ke ranah digital terbukti bisa memperluas jangkauan audiens dan mendorong kunjungan fisik. Studi di Inggris bahkan menunjukkan 60% pengguna yang berinteraksi dengan konten digital museum akhirnya datang langsung ke tempatnya. Ini bukan sekadar gimmick—tapi strategi nyata untuk menjembatani kekunoan dan kekinian. Lalu, strategi apa saja yang bisa digunakan?
“Marketing funnel dan channel-nya bisa diterapkan ke mana saja.” Konsep dasar seperti
AIDA (Attention → Interest → Desire → Action) dan AISAS (Attention → Interest → Search → Action → Share)
yang diajarkan di Bootcamp Digital Marketing Purwadhika pada dasarnya menjelaskan hal yang sama dengan funnel klasik (Awareness → Interest → Consideration → Conversion → Loyalty). Semuanya menggambarkan bagaimana audiens berpindah dari sadar, tertarik, mencari tahu, hingga akhirnya mengambil tindakan dan menjadi loyal.
Dalam konteks museum, funnel ini bisa dimulai dari melihat konten edukatif di social media seperti Instagram (attention), tertarik dengan koleksinya (interest), mencari tahu lebih lanjut lewat Google atau media sosial (search/consideration), lalu membeli tiket atau ikut tur virtual (action/conversion), dan akhirnya membagikan pengalaman atau merekomendasikan ke orang lain (share/loyalty). Prinsip ini berlaku secara universal, sehingga yang perlu dilakukan hanyalah menyesuaikan konten dan platform dengan karakter audiensnya. Nah, berbagai hal yang bisa diterapkan di museum mengikuti funnel di atas:
Menariknya, berbagai pendekatan dan keterampilan digital marketing seperti di atas juga menjadi bagian dari materi yang dipelajari dalam Bootcamp Digital Marketing di Purwadhika. Dengan pembelajaran yang menyentuh aspek fundamental seperti strategi konten, SEO, media sosial, hingga data analytics, peserta didorong untuk memahami bagaimana tools dan framework ini bisa diterapkan di berbagai sektor—bukan hanya untuk kebutuhan bisnis komersial, tapi juga untuk institusi budaya, organisasi nirlaba, hingga pengembangan personal branding.
Beberapa museum di dunia telah membuktikan bahwa strategi digital yang dilakukan dengan tepat dapat membuat hal-hal tadinya terkesan kuno dan jadul menjadi relevan dan bahkan viral di era modern. Mau tahu contoh nyata-nya gimana? Ini nih beberapa institusi budaya yang menerapkan digital marketing secara kreatif:
British Museum (London) – menerapkan strategi media sosial multi-platform. Mereka membuka akun Twitter dan Facebook sejak 2009, disusul Instagram dan YouTube, untuk membangun citra sebagai museum “of the world, for the world”. Dari upaya yang telah mereka lakukan memperoleh hasil yang luar biasa: total pengikut mereka di Facebook, Instagram, dan Twitter kini mendekati 5 juta akun . Dalam satu periode, British Museum sukses menambah lebih dari 2 juta follower baru di ketiga platform tersebut berkat konten yang engaging dan responsif . Pertumbuhan audiens digital ini bahkan yang tercepat diantara museum-museum besar dunia, mengalahkan Tate, Louvre, dan lain-lain. Rahasianya? Mereka membuat konten spesifik sesuai karakter tiap channel (misal: Facebook Live untuk tur virtual koleksi, YouTube untuk video edukasi, Twitter untuk kuis sejarah singkat) dan aktif berinteraksi dengan komentar pengikut.
Kampanye #MuseumWeek – Adalah sebuah inisiatif digital berskala global yang dilakukan di media sosial. Setiap tahun, ribuan museum, galeri, arsip, dan perpustakaan di seluruh dunia berpartisipasi dalam #MuseumWeek di Twitter/X, Instagram, dsb. Selama satu minggu dengan tema harian tertentu, institusi budaya berbagi cerita, koleksi, dan kegiatan di balik layar menggunakan tagar tersebut. Dampaknya, terjadi ledakan interaksi jutaan pengguna; banyak museum melaporkan peningkatan follower secara signifikan, bahkan ada yang mengalami lonjakan reach hingga 10 kali lipat dibanding biasanya selama kampanye ini. Strategi kolaboratif lintas institusi dan pemanfaatan viral hashtag ini berhasil menciptakan momen viral global – satu posting menarik bisa menjangkau ratusan ribu pengguna yang mungkin sebelumnya tak terpikir mengunjungi museum . #MuseumWeek menunjukkan bagaimana koordinasi konten dan dialog serentak bisa mengangkat citra museum secara massal di dunia maya.
Virtual Tour & Digital Experience – Museum dan situs sejarah juga memanfaatkan VR/AR untuk menarik Awareness & Engagement audiens global. Contohnya, proyek Virtual Hampi di India memungkinkan pengguna menjelajahi situs situs bersejarah Hampi (Warisan UNESCO) secara daring dari mana saja di dunia . Ini memecah batas geografis sekaligus membangkitkan keingintahuan orang yang belum pernah ke sana. Demikian pula, berbagai tur virtual interaktif tentang peradaban Mesir kuno telah dikembangkan – misalnya pengalaman 360° Piramida Giza yang imersif di YouTube/VR . Dengan tur virtual, museum menciptakan digital experience yang berfungsi sebagai funnel awareness: orang yang tadinya tidak kenal jadi tahu dan tertarik, lalu terlibat komentar, berbagi, dan potensial suatu hari datang langsung.
Konten “Ringan” nan Kreatif – Kekuatan digital marketing museum bukan cuma pada teknologi canggih, tapi pada strategi konten dan positioning yang disesuaikan konteks budaya. Contoh menarik adalah Uffizi Gallery (Florence, Italia) yang mendadak populer di TikTok. Museum seni Renaissance ini mengelola akun TikTok dengan pendekatan segar: karya-karya klasik “diberi suara” dan narasi kekinian, misalnya lewat meme, skit komedi, atau diiringi lagu pop sehingga relevan dengan humor modern. Hasilnya, banyak video Uffizi ditonton puluhan hingga ratusan ribu kali –bukti bahwa media sosial museum tidak harus kaku atau stuffy untuk sukses . Tim Uffizi menyadari bahwa perhatian pengguna bisa dicuri dulu dengan hiburan atau kejutan, baru kemudian didalami dengan edukasi. Strategi konten humor seperti ini berhasil membuat generasi muda tertarik duluan, lalu tanpa sadar belajar sejarah seni di baliknya. Insight-nya: institusi budaya dapat menerapkan content strategy layaknya brand, memainkan tone dan kreativitas untuk memosisikan brand museum agar relevan di mata audiens masa kini, tanpa mengorbankan nilai edukatifnya.
“Saat produk yang dijual adalah pengalaman dan pengetahuan.” Tentu, menerapkan digital marketing di institusi non-komersial seperti museum punya tantangan tersendiri:
Audiens tidak membeli produk fisik – Berbeda dari bisnis biasa, museum sebenarnya tidak menjual barang melainkan menawarkan pengalaman dan pengetahuan. Dengan kata lain, produk museum adalah pengalaman pengunjung secara keseluruhan, bukan benda yang dipajang. Konsekuensinya, museum harus bersaing memperebutkan waktu dan minat publik di tengah banyak pilihan hiburan atau rekreasi lain. Seorang calon pengunjung bisa saja memilih nonton film, konser musik, atau jalan-jalan di taman sebagai alternatif dari pergi ke museum. Jadi, tantangannya adalah meyakinkan bahwa menghabiskan waktu di museum memberikan nilai lebih yang tak bisa didapat di tempat lain. Ini mirip seperti menyusun value proposition: apa manfaat unik yang didapat pengunjung museum (misal: wawasan baru, pengalaman interaktif, inspirasi budaya) dibanding kegiatan lain? Inilah yang harus dikomunikasikan pemasar museum.
Citra museum yang “kuno” – Tidak bisa dipungkiri, masih ada stereotip bahwa museum itu tempat yang membosankan, berdebu, dan ngga asik. Khususnya bagi generasi muda, kunjungan museum sering dipersepsikan kurang interaktif, minim social experience, dan tidak personal sesuai minat mereka . Survei menunjukkan kaum muda sebenarnya suka pada ilmu pengetahuan dan sejarah, namun mereka menginginkan penyampaian yang lebih fun, ada event spesial, pendekatan dua arah, dan storytelling yang relevan dengan kehidupan mereka . Selama museum masih dianggap komunikasi satu arah yang kaku, tantangannya adalah mengubah persepsi itu lewat konten digital yang segar.
-** Keterbatasan SDM dan sumber daya digital** – Banyak museum (terutama yang kecil) menghadapi kendala budget dan kekurangan tenaga ahli di bidang teknologi digital. Sektor ini masih berbenah menghadapi era digital; “secara sederhana, sebagian besar museum masih kekurangan skill yang dibutuhkan untuk transformasi digital yang diinginkan”. Tidak semua museum punya tim khusus media sosial atau ahli data. Bahkan ada yang mengandalkan sistem usang atau staff volunteer untuk IT. Keterbatasan ini membuat implementasi digital marketing tidak bisa se-agile startup. Perlu investasi pelatihan dan rekrutmen talenta digital, yang tentu menjadi tantangan tersendiri di institusi nirlaba.
Lalu, bagaimana solusinya? Beberapa pendekatan berikut bisa membantu museum (dan institusi serupa) mengatasi tantangan di atas:
Gunakan persona-based content – Kenali dengan jelas segmentasi audiens museum Anda, sesuaikan gaya konten untuk tiap segmen. Apakah targetnya Gen Z yang melek TikTok? Keluarga muda dengan anak kecil? Atau komunitas akademisi? Setiap kelompok perlu angle berbeda. Riset menunjukkan, misalnya, pengunjung muda tertarik pada pameran dengan elemen teknologi interaktif, sedangkan audiens lebih tua cenderung menyukai tur klasik atau ceramah kuratorial. Satu museum mengaku mereka mengubah strategi promosinya setelah menyadari hal ini, dan efeknya kampanye jadi lebih efektif menjaring masing-masing segmen. Jadi, memahami user persona sangat krusial – konten untuk pelajar SMA tentu beda dengan konten untuk sejarawan.
Angkat narasi yang engaging, bukan bahasa akademik – Dalam ranah digital, gaya komunikasi museum perlu lebih luwes. Edukasi tidak harus disajikan dengan jargon berat seperti buku teks. Sebaliknya, kemas pengetahuan dalam cerita atau format interaktif. Banyak museum sukses di media sosial karena menghadirkan kuis seru, polling trivia, atau fakta sejarah singkat yang dikemas visual menarik. Cara ini membuat orang belajar tanpa merasa digurui. Misalnya, British Museum pernah membuat kuis di Instagram Story tentang artefak mereka – ribuan follower berpartisipasi, belajar sambil bermain . Konten edukatif yang fun dan dapat di-share akan jauh lebih efektif menjangkau audiens awam daripada artikel panjang berbahasa akademis. Intinya, tetap kredibel secara ilmiah, tapi penyajian ramah dan relatable.
Kolaborasi dengan kreator digital – Jangan ragu menggandeng influencer atau content creator yang sesuai dengan tema museum. Kreator yang suka bahas sejarah, seni, atau sains di YouTube/TikTok dapat diajak membuat konten di museum, sehingga museum terpapar ke follower mereka.Langkah ini win-win: kreator mendapat konten menarik, museum mendapat exposure ke audiens baru dengan cara yang autentik. MoMA (The Museum of Modern art) di New York contohnya, bekerja sama dengan TikTokers populer untuk menampilkan karya seni koleksinya dengan gaya bercerita khas kreator tersebut. Hasilnya, MoMA berhasil menjangkau demografi yang sebelumnya kurang tersentuh dan memicu ketertarikan baru terhadap pameran mereka . Kolaborasi semacam ini membantu museum keluar dari zona nyaman dan tampil di “timeline” audiens potensial dengan cara yang segar.
Semua strategi digital marketing yang berhasil di museum sebenarnya bisa ditiru atau diadaptasi oleh brand komersial, lembaga lain, bahkan personal branding. Berikut beberapa poin strategi konkret yang dapat diterapkan:
Content Pillar & Konten Berkala: Menetapkan content pillars yang jelas akan membantu konsistensi konten. Museum bisa memiliki pilar konten seperti edukasi sejarah (misal: fakta unik koleksi setiap minggu), trivia interaktif (kuis atau teka-teki budaya), behind-the-scenes (aktivitas kurator di balik layar), dan user engagement (ajak audiens berpartisipasi). Setelah itu, buat content calendar rutin – misalnya tiap hari Senin share #MuseumMonday tentang satu artefak, Rabu trivia, Jumat unggah video tur singkat. Pola konten yang terjadwal membuat audiens tahu apa yang diharapkan dan menantikan postingan kita. Bagi brand umum pun, pendekatan content pillar (edukasi, hiburan, promo, testimonial, dll.) dan kalender konten terbukti efektif meningkatkan loyalitas pengikut.
User-Generated Content (UGC): Ajak audiens terlibat menciptakan konten. Misalnya, kampanye tagar khusus seperti #SejarahFavoritGue di mana pengguna memposting foto mereka di museum atau menceritakan artefak favorit. Museum yang menampilkan ulang (repost) konten pengunjung akan membuat komunitas merasa dihargai. Strategi UGC terbukti mampu meningkatkan engagement rate hingga 25% karena konten dari pengguna terasa lebih autentik dan membangun kebanggaan bersama. Contoh nyata: Art Institute of Chicago pernah menjalankan kontes foto #VanGoghBedrooms, ribuan pengunjung berpartisipasi dan memposting pengalaman mereka, yang kemudian di-repost oleh museum. Bagi brand komersial, UGC juga ampuh sebagai “testimoni” organik yang memperluas jangkauan tanpa biaya iklan besar.
Micro-Video untuk Attention Span Pendek: Di era TikTok dan Instagram Reels, durasi perhatian audiens semakin pendek. Konten video singkat, padat, dan menarik menjadi kunci merebut perhatian. Gen Z, misalnya, menghabiskan rata-rata 4+ jam di media sosial per hari dan sangat menyukai konten berbasis video – pascapandemi angka ini melonjak, dengan 7 jam/hari waktu layar dan kebiasaan multitasking antar platform streaming dan medsos . Maka, museum dapat membuat video pendek 15-60 detik: tur kilat galeri, cerita “1 menit sejarah”, atau highlight koleksi dengan musik trendi. Konten micro-video mudah di-share, berpotensi viral, dan menjangkau audiens muda di platform pilihan mereka. Brand lain pun sebaiknya mengemas pesan dalam video singkat untuk memenangkan scrolling war di feed pengguna.
Storytelling & Visual Branding: Dalam dunia digital, kemampuan bercerita (storytelling) dan konsistensi visual sebuah brand sama pentingnya dengan promosi produk komersial. Bagi museum, setiap koleksi atau pameran punya cerita menarik – sampaikan kisah itu dengan cara yang emosional dan mudah dicerna publik. Gunakan infografis, ilustrasi, atau video animasi untuk menjelaskan sejarah artefak sehingga lebih hidup. Selain itu, perhatikan visual branding: tone warna, desain grafis, hingga gaya bahasa di setiap kanal harus selaras dengan identitas museum. Strategi ini membentuk citra yang kuat di benak audiens. Ketika storytelling dan visual digarap serius, engagement akan meningkat dan komunitas digital museum tumbuh semakin solid. Prinsip yang sama berlaku untuk brand bisnis – branding visual yang konsisten dan cerita yang menyentuh akan membedakan Anda dari kompetitor.
Retargeting & Digital Ads untuk Promosi Acara/Pameran: Museum bisa meniru teknik e-commerce dengan melakukan retargeting, yaitu menyasar orang-orang yang sudah pernah berinteraksi atau menunjukkan minat. Misal, orang yang pernah buka website museum atau like postingan pameran, ditarget lagi dengan iklan untuk membeli tiket event mendatang. Iklan digital (Facebook/Instagram Ads, Google Ads) berperan besar menjangkau audiens di luar follower organik.Contohnya, sebuah kampanye digital terarah untuk promosi event Children’s Museum di SouthDakota berhasil menjual tambahan 250+ tiket dalam satu bulan dan meningkatkan traffic website 55% berkat Facebook Ads . Google Ads yang dipasang pun mampu menjangkau 100 ribu lebih orang dalam radius 50 mil dari museum menjelang acara tersebut . Artinya, dengan budget terukur, museum dapat mengiklankan pameran atau program edukasinya tepat kepada sasaran(misal: keluarga muda di kota X), persis seperti bisnis menjual produknya. Semua strategi di atas –dari content planning, UGC, video marketing, storytelling, hingga advertising – juga diajarkan dan dipraktikkan di Bootcamp Digital Marketing Purwadhika. Peserta bootcamp dibimbing menerapkan taktik tersebut dalam proyek nyata, sehingga kelak bisa menggunakannya untuk berbagai keperluan marketing, baik untuk brand komersial, lembaga, maupun personal.
Studi kasus museum membuktikan bahwa digital marketing bisa diterapkan di sektor mana pun—bahkan oleh institusi yang dianggap kuno. Kuncinya bukan sekadar teknologi, tapi strategi dan konten yang tepat sasaran. Jika museum berusia ratusan tahun bisa membangun komunitas digital yang aktif, tentu brand atau bisnis modern juga bisa.
Prinsip digital marketing bersifat universal, tinggal disesuaikan dengan audiens dan tujuan. Di Bootcamp Digital Marketing Purwadhika, kamu bisa belajar langsung dari praktisi cara merancang strategi yang bisa diterapkan lintas sektor. Karena di era digital ini, bahkan kekunoan pun bisa tampil kekinian!
bagikan
ARTIKEL TERKAIT